oleh Asep Sambodja
(berdasarkan buku
Suara Perempuan Korban Tragedi '65 karya Ita F. Nadia)
I
pada sebuah kalender
1965
Indonesia bermandi darah
Indonesia berdarah-darah
Jenderal-jenderal itu diculik dan dibunuh
Di lubang buaya
Bagai angin ribut
Badai itu datang
Badai itu datang
Badai itu datang
II
Genjer-genjer nang kadokan pating keleler...
Di pagi buta
Para serdadu menangkapku
Dan menelanjangiku
Aku Yanti, 14 tahun
Masih SMP
Aku tak tahu politik
Aku tak tahu dwikora
Aku hanya mengikuti seruan Bung Karno
Untuk baris-berbaris di lubang buaya
Setiap diinterogasi
Aku selalu menjawab tidak tahu
Karena benar-benar tidak tahu
Tapi mereka justru menyetrum
Kemaluanku
Dengan beringas
Mereka memperkosaku
Bergiliran
Mboke tole teko-teko mbubuti genjer...
Aku Yanti, 14 tahun
Dipaksa mengatakan “ya”
Untuk sesuatu yang tak pernah kulakukan
+ Kamu yang membunuh jenderal-jenderal itu?
-- ya
+ Kamu yang mencongkel mata mereka?
-- ya
+Kamu yang mengiris-iris penis mereka?
-- ya
+Kamu yang menyiksa sambil menari talanjang?
-- ya
Lalu media massa
Memberitakan mitos
Yang tak pernah kulakukan itu
Dan sejarah mencatatnya!
Sebelum aku mati
Aku ingin sekali bertemu
Dengan keluarga para jenderal itu
Dan aku ingin mengatakan satu:
Bahwa aku bukan pembunuh jenderal-jenderal itu
Apalagi mengiris-iris kemaluan mereka!
III
Aku Sudarsih
Mahasiswa UGM tingkat akhir, jurusan sastra Inggris
Aku aktif di organisasi mahasiswa
Ketika jenderal-jenderal itu dibunuh
Aku berada di Kertosono,
Kota kecil di Jawa Timur
Jelas, aku tidak terlibat dalam pembunuhan itu
Tapi serdadu-serdadu itu menangkapku
Dan aku dimasukkan ke penjara Solo
Dan tahu,
Apa yang terjadi di penjara Solo?
Setiap hari aku diperkosa
Dan saking banyaknya serdadu yang memperkosaku
Tak satu pun wajah pemerkosa itu yang kuingat
Tak satu pun
Setiap dipanggil untuk di-“bon malam”
Aku sengaja tidak memakai celana dalam
Tidak perlu!
Tidak perlu!
Tidak perlu!
Karena aku tahu,
Bahwa aku dipanggil untuk melayani nafsu seksual
Para serdadu itu
Begitu masuk kamar pemerkosa itu,
Aku langsung telentang
Aku mematikan seluruh inderaku
Aku tak mau melihat
Aku tak mau mendengar
Aku tak mau merasakan
Karena hanya dengan cara itulah aku bisa melawan mereka!
Setiap mandi,
Aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri....
Tapi, ternyata ada yang lebih menderita dariku
Namanya Prasti, temanku di penjara Solo
Ia baru saja melahirkan ketika ditangkap
Bayinya pun belum berumur seminggu ketika ditangkap
Hampir setiap hari ia diperkosa
Dan setiap perkosaan itu selalu mengakibatkan pendarahan hebat
Setelah kami sama-sama melayani nafsu seks para serdadu itu
Kami saling bertukar kisah
Tentang penderitaan kami
Kami saling urut, saling pijat,
Saling mengusap kepedihan
Dan penderitaan kami
Hingga timbul kasih sayang
Sungguh, aku tak tahu apa itu lesbian
Yang pasti aku mencintai Prasti
Di satu sisi, kami muak
Dan benci laki-laki
Di sisi lain, kami ingin
Mengembalikan harkat dan martabat kami
Sebagai perempuan
Sebagai manusia!
IV
Sejak 1965
Aku tak lagi suka menari
Meski menari adalah ruh dan jiwaku
Ya, aku tumbuh menjadi seorang penari istana
Aku sering menari di depan Bung Karno,
Atau di acara ulang tahun partai politik
Dan organisasi massa
Aku jatuh cinta pada Nyoman
Seorang pemuda biasa yang pandai menari
Meski Nyoman dari kalangan sudra
Dan aku bangsawan, aku tetap cinta padanya
Tapi, adat di keluargaku tidak bisa menerima itu
Hingga aku dan Nyoman memilih kawin lari
Meski kami hidup sederhana, kami bahagia
Setelah jenderal-jenderal itu dibunuh
Di lubang buaya, Jakarta
Suara-suara itu sampai juga di Bali
Suara-suara itu membuyarkan ketenangan kami
+ Nyoman, keluar kau! Hei, PKI, keluar kau!
+ Bakar saja! Bakar saja rumahnya kalau dia tak mau keluar!
Aku takut
Aku sembunyi di semak-semak belakang rumah
Suara-suara itu benar-benar berbisa
Nyoman mati
Kedua mertuaku mati
Tombak menancap di dada mereka
Dan rumahku terbakar
Aku berusaha mengecilkan tubuhku sekecil-kecilnya
Agar tak melihat kebiadaban itu
Tapi mereka menangkapku
Aku ditangkap
Aku ditelanjangi
Diarak keliling kampung
Tanpa sehelai benang pun!
Aku diikat di tiang Balai Desa
Tanpa baju
Tanpa makan
Tanpa minum
Tanpa kawan...
Sendiri
Lalu aku diinterogasi
Aku disuruh menari
Karena mereka tahu aku penari
Aku disuruh menari di atas meja
Dalam keadaan telanjang
Gusti, apa arti manusia?
Aku menari
Tanpa hati
Tangan-tangan busuk para serdadu
Terus menggerayangiku
Setiap tepisan tangan yang kulakukan
Berarti mati bagi tawanan lain yang senasib denganku
Ah, menari!
Aku kemudian dibebaskan
Karena terbukti aku tak bersalah
Aku darmi
Aku hanya penari
Aku ditangkap dan disiksa
Karena suamiku PKI
Kini, setiap mendengar gamelan Bali
Jiwaku ingin menari-nari
Tapi, seketika itu juga aku membayangkan
Kebiadaban yang tak terkira...
V
Sejarah tak pernah mencatat
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
...
[naskah ini dipentaskan Teater UI di Malaysia, 16 Agustus 2008]