Minggu, 30 November 2008

Tentang Teater UI




kita tak pernah tahu kenapa kita ada di sini
seperti adam yang turun ke bumi
karena salah membaca buah kuldi
tapi kenapa kita di sini?

aku pun tak tahu apa ini artinya
apakah wajah-wajah yang ada di sini
semuanya ingin mencari kembali surga yang hilang?
aku tak yakin, sama tak yakin akan pengetahuanku yang minim
kenapa di sini

tapi aku coba selami wajah-wajah yang setiap saat
kupakai sebagai topeng di panggung
dan topeng di panggung kehidupan
apa yang kudapati sungguh membuatku semakin tak percaya
wajah-wajah itu
topeng-topeng itu
ternyata hanya jelmaan hati
hanya gambaran hati
yang gebalau ini

aku bercermin pada topeng-topeng yang menggantung
di langit-langit panggung
kutemukan wajahku yang koyak-moyak di situ
kutemukan hatiku yang menangisi surga
yang lama ditinggal adam
menangisi kekasih
yang tiba-tiba lupa menari

aku teringat malam
yang selalu menemani panggung-panggung yang kosong
jiwa-jiwa yang kosong
hati yang cemas
puisi yang malang

aku teringat malam...


Depok, 21 Desember 2005
Asep Sambodja

Sabtu, 22 November 2008

Sajak Kangen Tiba-tiba




aku tahu waktu akan terus berdetak
menuju penanggalan yang bertanda lingkaran merah
tapi kenapa kangen ini seperti tak sabar
ingin segera bertemu kawan lama: PISANG

adakah ia kangen padaku?
ah, aku tak peduli
duduk dekat dengannya saja aku sudah bahagia
meskipun kami sama-sama menyanyikan lagu luka
diiringi petikan gitarmu

“akule... lakitakmungkin mene... rimamubila
ternyata kaumendua membuatku terluka...”

aku merasa hidup semakin berwarna

Citayam, 2008
Asep Sambodja

Selasa, 18 November 2008

Tempo Menggambar Bakrie





pada mulanya adalah kata
lalu terbaca berita

ketika kau tulis wangi bunga
setiap bibir kan tersungging

ketika kau tulis luka
maka ada hati yang tersinggung

tapi kata harus dituliskan
agar keindahan bisa terbaca
agar luka tak sia-sia

dan selalu saja
tak ada kata akhir
dalam perjuangan

Citayam, 18 November 2008
Asep Sambodja

Senin, 17 November 2008

Eros Djarot, Lastri, dan Indonesia


kita ternyata
harus berjuang mati-matian
untuk berkarya
di negeri sendiri

barangkali orang-orang takut
pada kebenaran
atau takut
pada kenyataan
hingga Lastri dibungkam
dan dikebiri lagi
dikebiri dari dulu hingga kini

terlalu banyak orang-orang bodoh
terlalu banyak yang buta
mata dan hatinya
dan pikirannya

aku tak peduli
pada semua itu
kuharap kau pun begitu, Eros

hanya ingin kukatakan: teruslah berkarya!

teruslah membangun
Indonesia


Citayam, 16 November 2008
Kereta Taksaka
Asep Sambodja

Selasa, 11 November 2008

Cak Munir di Awan




kubuat prasasti
dengan jari-jariku yang mengeras
menahan selangit suara yang membisu
karena cintamu kandas di awan-awan

kuukir namamu
di lubuk hatiku yang kian koyak-moyak
melihat senyummu memudar
di balik awan

kutahu rindumu
seperti pernah kueja ayat-ayat Tuhan
yang memancar di sisi-sisi awan,
di balik mega
yang merasuk dalam hatiku

kubuat prasasti
dengan sisa koyak hatiku, seperti dulu
ketika ibu membasuh lukaku
tak sekadar mengingatmu
tapi menjelmakanmu—
mengarahkan tatapan tajam matamu
ke rongga-rongga penguasa
yang lalim
yang zalim
dan durjana saja


Citayam, 2005
Asep Sambodja

*) Puisi ini pernah dimuat di buku kumpulan puisi Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005) dan buku kumpulan cerpen Untukmu, Munir... (2008).

Kamis, 06 November 2008

Sajak-sajak Citayam




Bismillahirrohmaanirrohiim
Angin datang dari segala penjuru
Menikam hatiku
Mengajak zikir
Tentang hari-hari yang terlewati
Dalam buku sejarah yang sibuk

Pengalaman telah banyak mengajarkan luka-luka
Dan aku semakin tak percaya
Pada kata-kata politikus dunia
Yang semakin hari semakin nyata
Kebusukannya

Ah, manusia terkasih
Lihatlah hati ini
Lihat diri ini
Tak ada --kosong bagai gua yang sarat sarang laba-laba

Lama aku mencari
Sepotong cinta
Setetes embun
Sesering angin
Semua yang pernah kuingini

Dalam buku-buku kutemukan kata-kata yang teduh
Jauh dari amarah di koran-koran dan televisi

Mereka berbicara seperti orang pintar
Mereka bicara seperti orang yang paling benar
Mereka, mungkin juga aku, bicara seperti tanpa beban
Bahwa pada mulanya kata
Sesudahnya bencana demi bencana
Di depan mata kita

Laut tak bergelombang
Angin tak beriring
Bumi tak berdenyut
Kugesek-gesekkan tubuhku pada dinding-dinding dosa
Matahari hari ini adalah matahari yang memabukkan


Cinta, barangkali, hanya menjadi sebuah jimat dalam kotak Pandora
Tapi aku tak peduli
Aku akan gali segala yang bisa kugali
Aku akan cari apa yang harus kucari

Di sini, dari kamar yang sumpek ini
Akan kucurahkan kata-kata cinta
Ke seluruh dunia


Citayam, 26 Oktober 2002
Asep Sambodja

Selasa, 04 November 2008

Kepada Hannah Arendt


tak ada yang salah dalam cinta
yang ada hanya telanjur
meski dunia mengutuk heidegger,
lelaki yang mengaliri ilmu
sekaligus menidurimu
kau tetap ungkapkan cinta
sejatimu
meski dunia berpaling mengutukmu
kau tetap pada pendirianmu
bahwa cinta memang irasional
dan tak ada yang sanggup
menaklukkanNya
Citayam, 2008
Asep Sambodja

Sabtu, 01 November 2008

Sajak Indah buat Astuti Febiana


malam ini kulunasi janjiku padamu
akan kukatakan pada dunia
bahwa Tuhan tak sia-sia menghadirkanmu
di sini

ketika pertama kali kau datang
semua menitikkan airmata bahagia
dan kau menangis
dan kau meronta
tak tahu apa yang akan kau perbuat
di sini

tapi matahari seperti punya maksud lain
hampir setiap saat ia memandangmu
berhari-hari tanpa henti
setiap pagi
hingga senjakala

dan kau senantiasa tersenyum
dan aku paham
ternyata senyummu adalah titik embun
di gurun-gurun yang ditinggalkan para musafir
senyummu adalah rindu
yang dinanti-nanti para pengembara
yang dahaga

senyummu menaklukkan batu karang
yang menghalangi jalanmu
jalan menujuMu


Citayam, 1 November 2008
Asep Sambodja