Sabtu, 06 September 2008

PEREMPUAN DI PERSIMPANGAN ABAD

oleh Asep Sambodja
(berdasarkan buku Suara Perempuan Korban Tragedi '65 karya Ita F. Nadia)

I

pada sebuah kalender
1965
Indonesia bermandi darah
Indonesia berdarah-darah

Jenderal-jenderal itu diculik dan dibunuh
Di lubang buaya

Bagai angin ribut
Badai itu datang
Badai itu datang
Badai itu datang


II

Genjer-genjer nang kadokan pating keleler...

Di pagi buta
Para serdadu menangkapku
Dan menelanjangiku

Aku Yanti, 14 tahun
Masih SMP
Aku tak tahu politik
Aku tak tahu dwikora
Aku hanya mengikuti seruan Bung Karno
Untuk baris-berbaris di lubang buaya

Setiap diinterogasi
Aku selalu menjawab tidak tahu
Karena benar-benar tidak tahu
Tapi mereka justru menyetrum
Kemaluanku

Dengan beringas
Mereka memperkosaku
Bergiliran

Mboke tole teko-teko mbubuti genjer...

Aku Yanti, 14 tahun
Dipaksa mengatakan “ya”
Untuk sesuatu yang tak pernah kulakukan

+ Kamu yang membunuh jenderal-jenderal itu?
-- ya
+ Kamu yang mencongkel mata mereka?
-- ya
+Kamu yang mengiris-iris penis mereka?
-- ya
+Kamu yang menyiksa sambil menari talanjang?
-- ya

Lalu media massa
Memberitakan mitos
Yang tak pernah kulakukan itu

Dan sejarah mencatatnya!

Sebelum aku mati
Aku ingin sekali bertemu
Dengan keluarga para jenderal itu
Dan aku ingin mengatakan satu:
Bahwa aku bukan pembunuh jenderal-jenderal itu
Apalagi mengiris-iris kemaluan mereka!


III

Aku Sudarsih
Mahasiswa UGM tingkat akhir, jurusan sastra Inggris
Aku aktif di organisasi mahasiswa

Ketika jenderal-jenderal itu dibunuh
Aku berada di Kertosono,
Kota kecil di Jawa Timur

Jelas, aku tidak terlibat dalam pembunuhan itu
Tapi serdadu-serdadu itu menangkapku
Dan aku dimasukkan ke penjara Solo

Dan tahu,
Apa yang terjadi di penjara Solo?

Setiap hari aku diperkosa
Dan saking banyaknya serdadu yang memperkosaku
Tak satu pun wajah pemerkosa itu yang kuingat
Tak satu pun

Setiap dipanggil untuk di-“bon malam”
Aku sengaja tidak memakai celana dalam
Tidak perlu!
Tidak perlu!
Tidak perlu!

Karena aku tahu,
Bahwa aku dipanggil untuk melayani nafsu seksual
Para serdadu itu

Begitu masuk kamar pemerkosa itu,
Aku langsung telentang
Aku mematikan seluruh inderaku
Aku tak mau melihat
Aku tak mau mendengar
Aku tak mau merasakan
Karena hanya dengan cara itulah aku bisa melawan mereka!

Setiap mandi,
Aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri....

Tapi, ternyata ada yang lebih menderita dariku
Namanya Prasti, temanku di penjara Solo
Ia baru saja melahirkan ketika ditangkap
Bayinya pun belum berumur seminggu ketika ditangkap

Hampir setiap hari ia diperkosa
Dan setiap perkosaan itu selalu mengakibatkan pendarahan hebat

Setelah kami sama-sama melayani nafsu seks para serdadu itu
Kami saling bertukar kisah
Tentang penderitaan kami
Kami saling urut, saling pijat,
Saling mengusap kepedihan
Dan penderitaan kami
Hingga timbul kasih sayang

Sungguh, aku tak tahu apa itu lesbian
Yang pasti aku mencintai Prasti

Di satu sisi, kami muak
Dan benci laki-laki

Di sisi lain, kami ingin
Mengembalikan harkat dan martabat kami
Sebagai perempuan
Sebagai manusia!


IV

Sejak 1965
Aku tak lagi suka menari
Meski menari adalah ruh dan jiwaku

Ya, aku tumbuh menjadi seorang penari istana
Aku sering menari di depan Bung Karno,
Atau di acara ulang tahun partai politik
Dan organisasi massa

Aku jatuh cinta pada Nyoman
Seorang pemuda biasa yang pandai menari
Meski Nyoman dari kalangan sudra
Dan aku bangsawan, aku tetap cinta padanya
Tapi, adat di keluargaku tidak bisa menerima itu
Hingga aku dan Nyoman memilih kawin lari
Meski kami hidup sederhana, kami bahagia

Setelah jenderal-jenderal itu dibunuh
Di lubang buaya, Jakarta
Suara-suara itu sampai juga di Bali
Suara-suara itu membuyarkan ketenangan kami

+ Nyoman, keluar kau! Hei, PKI, keluar kau!
+ Bakar saja! Bakar saja rumahnya kalau dia tak mau keluar!

Aku takut
Aku sembunyi di semak-semak belakang rumah
Suara-suara itu benar-benar berbisa

Nyoman mati
Kedua mertuaku mati
Tombak menancap di dada mereka
Dan rumahku terbakar

Aku berusaha mengecilkan tubuhku sekecil-kecilnya
Agar tak melihat kebiadaban itu
Tapi mereka menangkapku

Aku ditangkap
Aku ditelanjangi
Diarak keliling kampung
Tanpa sehelai benang pun!

Aku diikat di tiang Balai Desa
Tanpa baju
Tanpa makan
Tanpa minum
Tanpa kawan...

Sendiri

Lalu aku diinterogasi
Aku disuruh menari
Karena mereka tahu aku penari

Aku disuruh menari di atas meja
Dalam keadaan telanjang

Gusti, apa arti manusia?

Aku menari
Tanpa hati

Tangan-tangan busuk para serdadu
Terus menggerayangiku
Setiap tepisan tangan yang kulakukan
Berarti mati bagi tawanan lain yang senasib denganku

Ah, menari!

Aku kemudian dibebaskan
Karena terbukti aku tak bersalah

Aku darmi
Aku hanya penari
Aku ditangkap dan disiksa
Karena suamiku PKI
Kini, setiap mendengar gamelan Bali
Jiwaku ingin menari-nari
Tapi, seketika itu juga aku membayangkan
Kebiadaban yang tak terkira...


V

Sejarah tak pernah mencatat
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
...

[naskah ini dipentaskan Teater UI di Malaysia, 16 Agustus 2008]

Tidak ada komentar: