
Puisi-puisi Asep Sambodja
Panembahan Rendra
penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
segala upeti segala korupsi
ditulis penyair dalam puisi
kini bukan saatnya bicara cinta
karena cinta adalah kabut
dan asap belerang
yang mencemari kejernihan berpikir
dan berpendapat
penyair selalu setia
pada keindahan kejujuran
keindahan kesederhanaan
kebersahajaan
dalam kata dan tutur kata
penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
yang lupa diri
yang rakus
dan tamak
Citayam, 25 Oktober 2009
Mempertimbangkan Rendra
ketika udara Jakarta sumpek dengan kata
sarat dengan sampah kata-kata
kau tampilkan teater minikata
untuk melindungi kata
dari polusi mulut-mulut knalpot
dari bising kata
ketika mulut-mulut terkunci
tak bisa bicara
bahkan berbisik pun adalah bencana
dan bisa cilaka
kau bikin perkampungan kaum urakan
di Parangtritis
membebaskan orang-orang berteriak
dan menangis
pada laut
berteriak melawan gelombang
dan angin selatan
melawan belenggu
diam membisu
Citayam, 25 Oktober 2009
Kita Butuh Seribu Rendra
ketika penyair-penyair salon
bicara tentang konde dan sisir
dan bibir dan hati murung
dan tak tahu derita rakyat
Rendra bicara apa adanya
tentang DPR yang tertutup
sarang laba-laba
tentang pendidikan yang jauh
dari persoalan kehidupan
tentang orang-orang kepanasan
tentang pelacur-pelacur Jakarta
yang disuruhnya mlorotin
moral dan duit dan celana pejabat
dan ia dipenjara
kita butuh seribu Rendra
atau lebih
untuk bicara apa adanya
menguak sarang laba-laba
di lembaga wakil kita
menguak pejabat-pejabat korup
dan suka melacur
dan sebagainya dan seterusnya
dan siap dipenjara
karena perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata
demikianlah Rendra
Citayam, 25 Oktober 2009
Di Citayam Rendra Bersujud
kabut susut
dalam liang
angin beringsut
membuka ruang
ia datang dari jauh
ke Citayam yang lusuh
orang-orang datang mengaduh
dan ia tak mengeluh
Rendra, Rendra
sujudmu demikian khusyuk
meninggalkan kenangan yang bertumpuk
di Citayam, di Citayam
kau akan dikenang
sepanjang siang
sepanjang malam
selamanya kan kukenang
Rendra, Rendra
sujudmu demikian khusyuk
demikian merasuk
Citayam, 25 Oktober 2009
Makam Penyair
Puisi adalah makam para penyair
setiap saat kita menziarahinya
menabur bunga-bunga makna
membaca ayat-ayat lama
Puisi adalah makam para penyair
namanya terpatri di batu nisan
abadi dalam kesunyian
jadi tempat terindah
para peziarah
Puisi adalah makam para penyair
Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra
dan siapa saja duduk di dalamnya
duduk seperti patung Ganeca
dan kita mempelajarinya
sampai habis kata
sampai habis nyawa
Citayam, 25 Oktober 2009
Biodata singkat:
Asep Sambodja lahir di Solo, 15 September 1967. Lulus dari Jurusan Sastra Indonesia FSUI Depok pada 1993. Sejak 1990-2003 menjadi wartawan di berbagai media, seperti Bintang Indonesia, Sinar, Ummat, dan Satunet.com. Sejak 2005 menjadi pengajar di Program Studi Indonesia FIB UI Depok. Buku puisinya yang telah terbit adalah Menjelma Rahwana (1999), Kusampirkan Cintaku di Jemuran (2006), dan Ballada Para Nabi (2007). Ia juga menulis buku Cara Mudah Menulis Fiksi (2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar