Selasa, 22 Desember 2009

Puisi-puisi Akhir Tahun Asep Sambodja (2009)



Kepada Koin

menegakkan hukum
ternyata butuh biaya
beratus-ratus juta

mencari keadilan
ternyata melelahkan
dan perlu uang
beratus-ratus juta

tapi rakyat sudah melek hukum
tanpa ketukan palu hakim
mereka sudah tahu
siapa yang benar
siapa yang butuh uang
beratus-ratus juta

“okelah kalau begitu”
kata warteg boys
dan rakyat tahu
dewi keadilan sudah tak tahu malu
ia tak hanya menggenggam pedang
tapi sudah tahu uang
beratus-ratus juta

koin-koin dikumpulkan
uang recehan dihimpun
orang-orang kecil
yang sering ditelikung pengadilan korup
bah!

kini beratus-ratus juta
uang recehan itu siap dilemparkan
ke muka hakim


Argo Lawu, Yogya-Jakarta, 10 Desember 2009
Asep Sambodja



For Coin

to uphold the law,
so it seems
needs hundreds and hundreds of millions.

to seek justice,
so it seems, is exhasuting
and needs hundreds and hundreds of millions.

but the people’s eyes are open to the law
not needing the judges gravel to strike the bench.
they know
who is in the right,
who it is that needs
hundreds and hundreds of millions.

“o.k. then”
spoke the street side vendors
and the common people know
that the goddess of justice has no shame
not only holding tight the sword
but she is familiar too
with the hundreds and hundreds of millions

coins are gathered together
small change collected
the common people
the common victims of corrupt courts
bah!

now hundreds and hundreds of millions
of small change coins are there, ready
to be thrown in the face of the judges


Argo Lawu, Yogya-Jakarta, 10 Desember 2009
Asep Sambodja
(translated: Max Lane)


Kepada Kakao, Semangka, Jagung, dan Kapuk Randu


aku cuma seorang anjing
bukan hakim
dan hukum harus ditegakkan

kepada kakao, semangka, jagung, dan kapuk randu
kuvonis penjara
bagi yang iseng mengutil
meski sudah nenek-nenek
karena barangkali aku sekadar anjing
yang bukan hakim
yang ingin menegakkan hukum
seadil-adilnya

tapi karena aku hanyalah anjing
dan bukan hakim
aku tak bisa
memvonis para koruptor
karena koruptor-koruptor itu telah menyumpal
mulutku dengan uang
dan mereka pun merantai leherku
dengan uang
karena aku hanyalah anjing
yang keleleran

Argo Lawu, Yogya-Jakarta, 10 Desember 2009
Asep Sambodja


Sudjijem, 20/6/1965

di hutan situkup
desa dempes, kaliwiro, wonosobo
ditemukan sebuah nama: sudjijem
dan sebuah tanda
cincin kawin bertarikh 20 juni 1965
yang melingkar pada jari manis
seorang—ah, bukan, seonggok kerangka
tidak kurang sembilan bulan lamanya
sejak janur kuning melengkung
dengan tempurung kepala berlubang
bekas didor tentara
tepatnya diberondong pelor tentara
bersama kawan-kawannya

sejarah hendak dibenamkan
dalam kuburan massal
di hutan situkup
desa dempes, kaliwiro
wonosobo

penduduk desa yang mendengar
peluru-peluru yang dimuntahkan aparat
hanya mendapat sepotong informasi
khas orde baru
“tentara sedang menembaki monyet-monyet”
dan mereka sangat percaya dengan penuh ketakutan

mereka boleh saja berdusta
tapi selalu saja ada nama
dan tanda
yang membuka aib kebiadaban mereka

detik berjalan ke angka 2000
di hutan situkup
di bawah pohon kelapa
sebuah sejarah tengah dibongkar

aku sudjijem
kebiadabanmu terekam dengan baik
di batok kepala suamiku
yang bolong
oleh peluru sialmu


Ungaran, 28 November 2009
Asep Sambodja



Berhala Obama

jakarta membangun berhala obama
“obama kecil,” kata walikota, dan lucu

berhala ditaruh di tengah kota
“agar jadi inspirasi bagi anak-anak kita,” kata walikota

berhala itu berkata
“the future belongs to those who believe in the power of their dreams.”

dan ron muellers bilang,
“obama sering bermain di sini, dulu
dan sekarang dia jadi pemimpin dunia.”

orang-orang percaya
presiden amerika itu dibaptis jadi pemimpin dunia
seperti mereka percaya pada makanan siap saji
mereka menari dan menyanyi
di depan berhala kecil
semacam menyambut bintang film amerika

di oslo, berhala itu mendapat nobel
tapi oslo harus mengeluarkan 16 juta dolar
untuk mengamankan berhala itu
artinya lebih dari 10 kali lipat
nilai hadiah sebuah nobel perdamaian
keluar dari kocek panitia

mei-britt gundersen, warga oslo
merasa heran dan berpikir
“apakah sedang ada seorang teroris
sehingga perlu pengamanan seketat ini.”

sepulang membawa nobel
obama akan mengirim lebih dari 30.000 pasukan
ke afghanistan

untuk apa?
untuk membunuh manusia?
inikah arti pemimpin dunia?inikah arti nobel perdamaian?

bencana apa yang kau ciptakan di timur tengah?

berhala obama kecil hanya nyengir di jakarta

Citayam, 13 Desember 2009
Asep Sambodja



Pengakuan Dosa

+ Bapa, saya mau mengaku dosa
- Wajahmu sudah mengisyaratkan setumpuk dosa, ada apa?

+ Bapa, saya sudah mencium seorang perempuan
- Keterlaluan! Apakah ia istrimu?

+ Bukan Bapa, makanya saya mau bertobat.
- Apakah ia adikmu?

+ Bukan Bapa
- Pacarmu barangkali?

+Bukan juga Bapa, saya sudah mencium perempuan lain
- Maksudmu?

+ Mohon ampun Bapa, ia anak tetangga
- Begitu? Hmmm, apakah ia merespons ciumanmu?

+ Untuk apa Bapa tanyakan itu
- Jawab saja! Jangan banyak tanya.

+Tidak tahu Bapa
- Ia tidak marah?

+ Tidak Bapa
- Apakah ia bergairah?

+ Maksud Bapa?
- Jawab saja! Jangan menjawab dengan pertanyaan

+ Sungguh saya tidak tahu Bapa. Ia masih bayi, umurnya lima bulan.
- Diamput! Itu bukan dosa, tapi kasih sayang!

+ Betul Bapa? Tidak dosa Bapa?
- Diamput! Kamu sudah menghabiskan waktuku 5 menit untuk sesuatu yang lucu!

+ Terima kasih Bapa
- [dalam hati] Iseng banget ini orang!


Citayam, 22 November 2009
Asep Sambodja



Kepada Romo Mangun

aku mengagumimu hingga kini
bukan karena kau sastrawan
bukan karena kau pastor
bukan karena kau katolik
bukan karena kau kaya
tapi karena kasih sayangmu
pada orang-orang miskin
pada orang-orang yang dianggap sampah
oleh negara atau kaum borju

kasih sayangmu pada orang-orang pinggir kali code
dan orang-orang tergusur di kedungombo
meyakinkanku bahwa kaulah pahlawan sejati
pahlawan bagi orang-orang miskin
pahlawan bagi orang-orang yang disampahkan
pahlawan bagi kaum tertindas

ingin aku berguru padamu

dan kubayangkan hidup yang indah
jika ulama dan rohaniwan jakarta
belajar padamu
lakukan hal yang sama
pada orang-orang pinggir kali ciliwung
dan orang-orang yang tergusur
oleh mal dan jalan tol

bantuanmu pada orang-orang miskin
begitu konkret
dan tak kau pamerkan di depan publik
hingga mereka berduyun-duyun datang
menjemput maut

tidak, kau tidak begitu
kau hanya memberi
kau hanya memberi

Citayam, 22 Desember 2009
Asep Sambodja



Seandainya Saya Luna Maya

barangkali aku akan mati berdiri
kalau setiap hari
pertanyaan yang kudengar hanya ini:
kapan kawin?

ah, pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu saja
tak pernah berkembang
tak pernah bermutu
dari dulu hingga nanti
pertanyaannya melulu kawin, kawin, kawin…
kalau sudah kawin:
selingkuhkah?
kapan cerai?
ah!

tak ada berita

dan aku hanya jadi barang dagangan
bagi gosipers dan paparazi
yang haus urusan orang lain


Citayam, 18 Desember 2009
Asep Sambodja



Kepada Bambang Widjajanto

negeri ini sedang sakit
dan sekarat
semestinya lembaga penegak hukum
harus berada di tangan orang-orang sepertimu
bukan di tangan buaya-buaya
yang ngiler melihat Rp 7 M

“Hallo?”

siapa Anggodo?
siapa Ong Yuliana?
kenapa aparat penegak hukum negeri ini
begitu keder mendengarnya?

inilah mafia peradilan
yang telanjang
di sidang Mahkamah Konstitusi kita

bahwa lembaga penegak hukum
menjadi lembaga paling diancuk
di negeri ini

Citayam, 3 November 2009
Asep Sambodja



Menonton Televisi Pagi Ini

Gayus Lumbuun dan OC Kaligis
tampil di televisi pagi ini
sama-sama pakar hukum
sama-sama tahu hukum
sama-sama melek hukum
sama-sama bicara soal cicak dan buaya
sama-sama tegang
sama-sama yakin benar
sama-sama emosi
sama-sama paling benar
sama-sama ingin pengaruhi opini publik
sama-sama bersuara keras
sama-sama tua
sama-sama membela kebenaran menurut siapa
sama-sama lantang
sama-sama mau pukul-pukulan
sama-sama mau bertinju
sama-sama merasa kata-kata tak ada gunanya
sama-sama berdarah panas
sama-sama ahli hukum
sama-sama mengerti hukum
sama-sama panas
sama-sama mengepalkan tinju
sama-sama bersilat lidah
sama-sama mau pukul
sampai-sampai Denny Indrayana
memisahkan mereka

penonton ketawa!

jangan kemana-mana
setelah yang satu ini
kita panggil ambulance


Citayam, 2 November 2009
Asep Sambodja



Pidato Rendra saat Menerima Achmad Bakrie Award 2006

“Manjing ing kahanan
nggayuh karsaning Hyang Widhi
masuk dalam kontekstualitas
meraih kehendak Allah”

dengan rasa hormat
dan perasaan yang tulus
saya ucapkan terima kasih
kepada Freedom Institute
dan Keluarga Bakrie
yang dengan khidmat
meneruskan cita-cita dan laku kebajikan
almarhum Achmad Bakrie

“masuk dalam kontekstualitas itu
bekalnya rewes, kepedulian
dan sih katresnan, cinta kasih”

saya juga ucapkan simpati yang dalam
kepada Keluarga Bakrie
yang terlanda musibah
terseret dalam kemelut
yang diciptakan PT Lapindo Brantas
yang telah melakukan kesalahan fatal
dalam eksplorasi yang mengakibatkan banjir lumpur
di Jawa Timur

“ananingsung marganira
ananira marganingsung
aku ada karena kamu
kamu ada karena aku”

tiga desa telah tenggelam
dan tak bisa dihuni lagi
lima belas pabrik yang mempekerjakan 1.736 karyawan
terpaksa tutup
dan menimbulkan masalah sosial ekonomi
delta Sungai Brantas yang subur
yang proses pembentukannya berabad-abad
melebihi usia peradaban manusia
hancur tertimbun lumpur
untuk selama-lamanya

saya yakin
Keluarga Bakrie tidak akan berpangku tangan
dan pasti akan mengerahkan
segenap usaha untuk bertanggung jawab
atas kecerobohan pekerja
dan orang-orang di PT Lapindo Brantas


Citayam, 26 Oktober 2009
Asep Sambodja



Panembahan Rendra

penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
segala upeti segala korupsi
ditulis penyair dalam puisi

kini bukan saatnya bicara cinta
karena cinta adalah kabut
dan asap belerang
yang mencemari kejernihan berpikir
dan berpendapat

penyair selalu setia
pada keindahan kejujuran
keindahan kesederhanaan
kebersahajaan
dalam kata dan tutur kata

penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
yang lupa diri
yang rakus
dan tamak

Citayam, 25 Oktober 2009


Mempertimbangkan Rendra

ketika udara Jakarta sumpek dengan kata
sarat dengan sampah kata-kata
kau tampilkan teater minikata
untuk melindungi kata
dari polusi mulut-mulut knalpot
dari bising kata

ketika mulut-mulut terkunci
tak bisa bicara
bahkan berbisik pun adalah bencana
dan bisa cilaka
kau bikin perkampungan kaum urakan
di Parangtritis
membebaskan orang-orang berteriak
dan menangis
pada laut

berteriak melawan gelombang
dan angin selatan

melawan belenggu
diam membisu

Citayam, 25 Oktober 2009


Kita Butuh Seribu Rendra

ketika penyair-penyair salon
bicara tentang konde dan sisir
dan bibir dan hati murung
dan tak tahu derita rakyat
Rendra bicara apa adanya
tentang DPR yang tertutup
sarang laba-laba
tentang pendidikan yang jauh
dari persoalan kehidupan
tentang orang-orang kepanasan
tentang pelacur-pelacur Jakarta
yang disuruhnya mlorotin
moral dan duit dan celana pejabat
dan ia dipenjara

kita butuh seribu Rendra
atau lebih
untuk bicara apa adanya
menguak sarang laba-laba
di lembaga wakil kita
menguak pejabat-pejabat korup
dan suka melacur
dan sebagainya dan seterusnya
dan siap dipenjara

karena perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata

demikianlah Rendra

Citayam, 25 Oktober 2009


Di Citayam Rendra Bersujud

kabut susut
dalam liang
angin beringsut
membuka ruang

ia datang dari jauh
ke Citayam yang lusuh
orang-orang datang mengaduh
dan ia tak mengeluh

Rendra, Rendra
sujudmu demikian khusyuk
meninggalkan kenangan yang bertumpuk

di Citayam, di Citayam
kau akan dikenang
sepanjang siang
sepanjang malam
selamanya kan kukenang

Rendra, Rendra
sujudmu demikian khusyuk
demikian merasuk

Citayam, 25 Oktober 2009


Makam Penyair

Puisi adalah makam para penyair
setiap saat kita menziarahinya
menabur bunga-bunga makna
membaca ayat-ayat lama

Puisi adalah makam para penyair
namanya terpatri di batu nisan
abadi dalam kesunyian
jadi tempat terindah
para peziarah

Puisi adalah makam para penyair
Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra
dan siapa saja duduk di dalamnya
duduk seperti patung Ganeca
dan kita mempelajarinya
sampai habis kata
sampai habis nyawa

Citayam, 25 Oktober 2009



Kepada Medy Loekito

bahwa kita akan mati itu sudah pasti
tapi siapa bersamamu menjengukku?
menjenguk rangkaku?

aku tahu ada nonny, anggoro, tulus…
ada endo, badri, arumdono…
tapi siapa yang bersamamu?
penyairkah?
penyihir? semacam peri?

bahwa kematian itu kepastian dalam hidup
malaikat pun tahu
penyair tua pun tahu
tapi apa yang kau berikan padaku
lewat belaian jemarimu itu?
lentik jarimu itu?
apa yang kau ucapkan dalam diammu?

ada yang kau lekatkan di keningku
saat kau sedih katakan:
“mas asep sakit, bung saut sakit…”

hidup seperti sebuah puisi
yang harus segera diselesaikan


Citayam, 26 Oktober 2009
Asep Sambodja



Anatomi Wakil Rakyat 2009

inilah negeri demokrasi
yang paling wangi di planet ini
aku sepi sendiri
melihat bedak dan parfum
merias senayan, senayan kita
terbayang undang-undang menjadi skenario
pertunjukan drama paling menyedihkan
wakil-wakil rakyat kita pandai merias diri
selalu bermake up
produk partai-partai haus sensasi
partai politik yang memanfaatkan badut-badut
untuk menghibur anak-anak TK

inilah negeri demokrasi
yang belajar dari negeri hollywood
koboi-koboi duduk di bangku kekuasaan
artis-artis sinetron menjadikan legislatif
sebagai panggung sandiwara
yang penuh bedak dan gincu
produk partai-partai gincu politik
yang melecehkan akal sehat

dan kita siap tertawa
dalam duka
karena pelawak-pelawak
akan belajar serius persoalan politik
dan politikus-politikus produk parpol gincu
akan belajar serius jadi pelawak
ha ha ha

tidak lucu!


Citayam, 31 Oktober 2009
Asep Sambodja


Ong, Setelah Ibu Pertiwi dalam Keadaan Hamil Tua


setelah ibu pertiwi dalam keadaan hamil tua
dan seterusnya dan seterusnya
onghokham mengalami gangguan mental

sebagai sejarawan ia bersuara lantang
menentang pembantaian 1965-1966
dan ia dipenjara

ia mencoba mengamati peristiwa demi peristiwa
pembunuhan jenderal yang dirasanya aneh
apalagi beredar kabar-kabar burung
yang semakin menambah bingung

ia tak kuasa menahan perasaannya yang murni
saat menyaksikan pembantaian orang-orang PKI
di Jawa Timur, tempat asalnya

ong sejatinya takut
jika PKI berkuasa
karena inflasi akan semakin meninggi
dan hidup semakin tak pasti

tapi ia menentang pembantaian
yang dilakukan terhadap orang-orang
yang tak berdosa

di penjara ia merenung
“kehidupan saya membosankan dan monoton
saya adalah seorang yang tak dianggap penting
saya suka gagasan, misalnya, membuat penting
semua perasaan dan emosi saya
tapi tidak bisa dan tidak tahu caranya.”

di rumah, ong mencatat
“ketika saya mengalami gangguan mental
saya mencoba memecahkan pertanyaan
siapa diri saya?
saya hampir mempercayai semua yang dikatakan orang
mengenai diri saya
saya bertentangan dengan orang-orang yang ingin
menjadikan diri saya ‘seseorang atau sesuatu’
sementara saya ingin tetap menjadi diri sendiri”

Citayam, 19 Oktober 2009
Asep Sambodja


Perempuan yang Melambaikan TanganNya Padaku

siang ini jadi lain
ketika perempuan itu melambaikan tanganNya padaku
aku dan bangku menunggu

ia tak banyak bicara
meski banyak baca cerita
aku dan bangku menunggu

siang ini jadi lain
ketika dia berikan cinta
aku terharu
dan bangku tetap menunggu

ia tak ingin orang lain tahu
bahwa cinta yang diberikan dipungut dari surga
dan khusus untukku

aku terharu
pada perempuan yang melambaikan tanganNya
padaku


Citayam, 21 Oktober 2009
Asep Sambodja



Ia Menulis Puisi Sedih


ia merasa sebagai laki-laki paling malang sedunia
ia menulis puisi cinta
antara ibunya dengan laki-laki entah siapa

ia merasa sangat peduli dengan adik-adiknya
yang tertidur dengan tenang
di bawah batu-batu nisan
di taman makam bukan pahlawan

hanya ibunya yang belum ia bunuh
meski ia tahu ibunya selingkuh

ia merasa sebagai laki-laki paling malang di dunia
ia menulis puisi cinta
dengan darah yang mengalir dari jari-jarinya

tapi puisi itu tak pernah selesai ditulisnya
tak kan pernah selesai
karena sang ibu menangis
di depan jasadnya


Citayam, 22 September 2009
Asep Sambodja



Ibu,
aku sakit
aku ingin kau memelukku erat-erat
kuingin kau mengusap kepalaku perlahan-lahan
dan membisikkan doa-doa
—segala doa yang kau hafal dengan baik—
untuk kesembuhanku

Ibu,
aku sangat ingin...



Citayam, 23 Desember 2009

Tidak ada komentar: